Indonesia adalah Negara yang kaya, kaya akan sumber daya alamnya,
kekayaan tambang, hutan, pertanian bahkan lautan. Kaya akan resort
pariwisatanya, bali, bunaken, pulau komodo, bromo, toba, bromo,
Borobudur juga prambanan. Kaya akan jumlah penduduknya, yang menurut
sensus 2010 mencapai 240.271.522 jiwa. Indonesia juga kaya akan ummat
muslimnya, pemeluk agama Islam di Indonesia mencapai 85,1% dari jumlah
WNI keseluruhan, bahkan merupakan Negara yang memiliki jumlah warga
Negara muslim terbanyak di dunia.
Tetapi jika kita
perhatika secara mendalam, terdapat kondisi yang terlihat timpang
disini, di negeri kita tercinta Indonesia ini. Sebagaimana telah
paparkan diatas dalam kehidupan sosial, masyarakat Indonesia beriman.
Mereka yakin dengan adanya Tuhan, Allah. Mereka juga melaksanakan
tuntunan agamanya sesuai syari’at, sholat, zakat, puasa juga naik haji.
Mereka juga yakin terhadap kerisalahan Muhammad, nabi utusan Allah, yang
dengannyalah setiap umat muslim harus mengadopsi setiap sikap, tutur
kata, perilaku, akhlaq. Masyarakat muslim Indonesia juga yakin terhadap
adanya malaikat yang tanpa lengah terus mencatat setiap amal baik maupun
buruk yang mereka perbuat. Meraka juga paham dan beriman akan takdir,
kepastian akan habisnya jatah kehidupan mereka, juga hari kiamat. Mereka
juga tahu selepas mereka di dunia akan dibangkitkan menuju hari
perhitungan, dan semua jerih payahnya di dunia akan mendapatkan upah
yang sesuai dengan perasan keringatnya, surga atau neraka.
Namun,
pada kenyataan yang ada, iman tersebut belum mampu memberikan warna
dalam kehidupan keseharian mereka. Buktinya, bagaimana mungkin bangsa
yang sangat banyak melakukan mujahadah, istighatsah, tabligh akbar, doa
bersama, serta berbagai ritual keagamaan, tapi di lain sisi juga menjadi
bangsa yang paling banyak melakukan korupsi? Bangsa yang rajin
melakukan ibadah, namun juga menjadi bangsa yang rajin mengembangkan
tindak kemaksiatan.
Ada banyak hal yang telah hilang dari
kepribadian bangsa kita. Keimanan seakan telah kehilangan ruh yang
menggerakkan. Iman hanya menjadi simbol dan ritual, tanpa esensi, tanpa
isi. Padahal jika kita mau menengok keimanan masyarakat di zaman
kegemilangan Islam, akan tampaklah sebuah ruh iman yang memberikan warna
yang sangat jelas dalam berbagai bidang kehidupan.
Dalam
menjalankan kehidupan keseharian, orang-orang beriman terdahulu
senantiasa berhati-hati agar tidak terjatuh dalam penyimpangan dan
kesalahan. Lihatlah para Khalifah terdahulu, mereka telah berhasil
memberikan contoh bagaimana seharusnya kehidupan orang-orang beriman.
Contoh kecil dari khalifah Umar bin Abdul Aziz berikut menunjukkan
bagaimana keimanan telah menjadi warna dalam kehidupan keseharian sang
pemimpin.
Pada suatu hari, khalifah Umar bin Abdul Aziz kedatangan
seorang tamu yang tak lain adalah bibi beliau sendiri. Sang bibi datang
untuk meminta tambahan jatah dana dari Baitul Mal. Mungkin ia berpikir,
karena yang menjadi penguasa adalah kemenakannya sendiri, maka akan
mudah untuk meminta tambahan dana dari Baitul Mal.
Tatkala sang
bibi masuk ke rumah Umar, ia melihat Amirul Mukminin ini tengah makan
kacang adas dan bawang, yang merupakan makanan rakyat jelata pada masa
itu. Melihat kedatangan bibinya, Umar segera menghentikan makannya.
Beliau sudah mengetahui maksud kedatangan sang bibi.
“Ya Amirul Mukminin, berikan kepadaku tambahan dana dari Baitul Mal,” pinta sang bibi.
“Tunggulah sebentar,” kata Amirul Mukminin.
Umar
bin Abdul Aziz kemudian mengambil satu dirham uang perak dan
membakarnya di atas api. Setelah tampak panas, beliau bungkus uang perak
panas tersebut dengan kain.
“Inilah uang tambahan yang Bibi minta,” kata Umar sembari menyerahkan bungkusan tersebut ke tangan sang bibi.
Begitu
menggenggam bungkusan tersebut, spontan sang bibi melemparkannya
sembari menjerit kesakitan karena panasnya uang perak yang telah
terpanggang api.
“Kalau api dunia saja begitu panas,” kata Umar,
“bagaimana dengan api akhirat kelak yang akan membakar aku dan Bibi
karena menyelewengkan harta negara?”
Luar biasa kehati-hatian sang
Khalifah dalam menjaga harta negara. Beliau tidak mau mengeluarkan
milik negara dengan cara yang tidak benar, walaupun yang datang meminta
adalah bibi beliau sendiri. Apakah yang menyebabkan beliau berperilaku
seperti itu? Tidak ada jawaban lain, kecuali: iman. Ya, karena iman yang
kuat terpatri dalam jiwa Khalifah, beliau menjadi lurus dan bersih
dalam kehidupan.
Bagaimana dengan bangsa dan pemimpin kita?
Bukankah syarat pemimpin di Indonesia haruslah beriman kepada Tuhan
Yang Maha Esa? Lalu dimanakah iman tersebut tatkala korupsi telah
merajalela di negeri ini? Dimanakah letak iman pada saat kebusukan
menggerogoti birokrasi, pada saat anggota dewan meminta tambahan gaji,
pada saat para pemimpin mementingkan hidupnya sendiri?
Ternyata
keimanan kita masih merupakan tanda tanya besar, yang setiap waktu
senantiasa diuji. Sebab, iman bukan saja masalah teori, namun lebih
penting lagi adalah implementasi.
-------------------------------------------------------------------------
00.01
Markas Dakwah - Masjid Kampus UTM
10 Dzulhijjah 1432
-------------------------------------------------------------------------
You Might Also Like :
0 komentar:
Posting Komentar